Konflik Suporter Tidak Selalu Negatif


Oleh: Lugas Wicaksono

Mahasiswa Jurusan Sosiologi UMM angkatan 2008

Persija punya The Jack untuk membela
Persib punya Viking untuk mendukung
Persebaya bangga dengan Bonekmania
Kota-kota diseluruh dunua pasti punya pasti ada
Suporter bola seperti
Kami arema salam satu jiwa

Cuplikan lagu salam satu jiwa di atas yang dipopulerkan oleh A.P.A salah satu Band supporter Arema Malang menggambarkan betapa beragammnya warna  supporter di Indonesia.  Nama- nama di atas masih sebagian kelompok supporter klub besar, belum lagi kita melihat kelompok lain yan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Di Jawa Timur yang bisa dikataan kiblat sepak bola Indonesia karena banyak klub besar berdomisili di sana. Selain Aremania dan Bonekmania dua kelompok supporter yang berseteru, terdapat lagi beberapa yang lain seperti LA Mania (Persela Lamongan), Deltamania (Deltras Sidoarjo), Sakeramania (Persekabpas Pasuruan), Persikmania (Persik Kediri), Ultrasmania (GU Gresik), Boromania (Persibo Bojonegoro).

Jangan bilang hubunga mereka satu sama lain baik-baik saja, meskipun mereka sama- sama Jawa Timur mereka sering terlibat konflik. Semisal Aremania selain dengan Bonekmania, hubungan mereka juga kurang harmonis dengan Sakeramani dan Persikmania, tetapi bersaudara baik dengan The Jak, LA, Deltamania dan masih banyak lagi saudaranya. Belum lagi di daerah lain masih banyak yang tidak bisa disebutkan seluruhhnya, sama-sama militan, rela mati demi klub yang dicintainya. Tawuran dengan supporter lain yang menjadi musuhnya dianggap “Jihad” dan yakin masuk surga karena menganggap kelompok merekalah yang paling benar dan musuhnya dianggap sebagai “setan yang terkutuk yang harus mati”.

Jika kelompok-kelompok supporter garis keras Eropa mempunyai slogan “Terkadang cinta hanya bisa bicara lewat selongsong senapan”, di Indonesia juga hampir sama. Tetapi karena mereka sulit mendapatkan senapan, maka bisa diganti dengan sekepal batu, sebilah belati, sebatang tongkat, roti kalung, parang dan juga benda lain yang bisa digunakan tawuran.

Tetapi dalam perpektif sosiologi, fenomena konflik antar supporter tidak selalu negatif. Simmel mengemukakan konflik dengan kelompok lain dapat meningkatkan kohesi internal. Kelompok dalam keadaan damai dapat memeberi izin anggota yang antagonistic untuk hidup sama lain dalam suatu situasi yang tidak diputuskan, karena masing-masing mereka mampu berjalan dengan caranya sendiri dan dapat menhindari bentrokan. Namun kondisi konflik justru) endorong para aggota untuk terikat bersama dan mewajibkan mereka untuk tunduk kepada dorongan keseragaman bahwa mereka harus memukul mundur musuh bersama Rahmad (2008:233).

Ambil contoh Aremania kelompok supporter pendukung Arema Malang yang terkenal supporter fanatic. Jika kita feedback ke belakang mempelajari kembali sejarah lahirnya Aremania, dahulu di kota Malang banyak bermunculan geng-geng yang anarkis di setiap daerah. Program kerja mereka seperti pada umumnya tawuran antar geng lebih sering terjadi, akibatnya banyak masyarakat yang dirugikan. Setelah Aremania lahir sedikit demi sedikit geng-geng tersebut hilang dan disatukan dengan istilah “Arek Malang”.

Dalam perjalanannya Aremania punya musuh abadi Bonekmania “Arek Suroboyo” supporter Persebaya Surabaya. Membenci Bonek yang dalam prakteknya seperti menghujat, mengeluarkan kata-kata kotor, memukul bahkan membunuh Bonek jika bertemu “dibenarkan” untuk Aremania. Jika merujuk pada teori Simmel konflik antara Aremania dengan Bonekmania perlu tetap “dipelihara” untuk mendapatkan nilai – nilai positif. Bagi Aremania, Bonekmania merupakan musuh bersama mereka. Karena dengan berkonflik dengan Bonekmania internal Aremania sendiri semakin solid. Tidak ada lagi istilah tawuran sesama Aremania, mereka satu kata untuk meneriakkan slogan “Anti Bonek”. Suasana Kota Malang jadi lebih kondusif kecuali untuk warga Surabaya yang datang ke Malang, bisa saja akan sedikit mendapatkan terror. Begitu juga sebaliknya untuk Bonekmania internal mereka juga lebih solid dengan berkonflik dengan Aremania, mereka satu kata “Anti Arema”.

Management konflik menjadi penting untuk membangun kohesi internal sekaligus melakukan social engineering atas situasi eksternal. Penulis bukan bermaksud setuju atas tindakan-tindakan anarkis Aremniaa pada Bonekmania, tetapi  jika kita bisa melakukan managerial konflik ini secara baik, konflik eksternalpun bisa kita kelola untuk kepentingan-kepentingan keteraturan social berikutnya. Para sosiolog harusnya bisa menjawab tantangan mengolah konflik ini.

Ada saatnya memang konflik tidak harus dihentikan dan perlu tetap “dipelihara” demi mendapatkan kedamaian yang sesungguhnya. Permasalahan banyak pihak yang dirugikan karena konflik antar kelompok diperlukan kerjasama semua stakeholder yang ada mulai dari supporter sendiri yang dituntut untuk lebih dewasa, manajemen klub, aparat yang berwajib, otoritas sepakbola jika memberikan hukuman kepada supporter perlu adanya efek pembelajaran karena tanpa disadari dengan banyaknya rivalitas supporter PSSI lebih diuntungkan dan juga masyarakat. Tidak semua supporter anarkis, konflik tidak perlu melibatkan masyarakat yang tidak bersalah dan tidak mengerti apa-apa.

Konflik antar supporter memang permasalahan social yang tak berujung dan memakan korban banyak orang. Namun begitu konflik ini juga telah menyelamatkan banyak orang supporter sesama Arema. Tidak ada lagi pertumpahan darah antar geng di wilayah Malang Raya. Situasi damai dan kondusif ini telah mampu menciptakan keteraturan social pada berbagai sudut kehidupan masyarakat Malang Raya.

Perspektif ini, management konflik menjadi penting untuk membangun kohesi internal sekaligus melakukan social engineering atas situasi eksternal. Penulis bukan bermaksud setuju atas tindakan-tindakan anarkis Aremniaa pada Bonekmania, tetapi  jika kita bisa melakukan managerial konflik ini secara baik, konflik eksternalpun bisa kita kelola untuk kepentingan-kepentingan keteraturan social berikutnya. Para sosiolog harusnya bisa menjawab tantangan mengolah konflik ini.

About sosiologiumm

Faqih Al Asy'ari

Posted on 15 September 2011, in Konflik, Sosiologi Klasik and tagged , . Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. Yach, kalau menurut saya tulisan diatas tidak sepenuhnya benar, dan terkesan obyektif kepada “AREMANIA”, tetapi pada intinya adalah bahwa negara kita atau orang-orang Indonesia masih belum Dewasa untuk menyikapi sebuah permasalahan, kesan “negativ” yang disampaikan di tulisan ini juga belum bisa sebagai tolak pemikiran atau sebuah bukti, karena apa saya yang berdomisili di Malang dan punya Keluarga di Surabaya, sempat menanyakan apakah “konflik” ini tidak ada solusinya? bentrokan/tawuran bisa kita hindari sebagian orang menganggap wajar/emosi sesaat tetapi sebagai karakter orang JATIM saya bangga karena egoisme kebanggaan atas nama wilayah ataupun JATIM itu sendiri sebagai bukti bahwa kita punya yang namanya “HARGA DIRI”, lihat di PON Kita anak-anak (atlit) JATIM entah dari Malang,Surabaya,Gresik,Kediri itu bersatu ,gak ada yang namanya akulho anak Malang, Aku lho anak Surabaya,, itu artinya perlu kedewasaan SDM, dan Ajaran Agama yang kuat dari keluarga, semoga bermanfaat – Salam Satu Jiwa –

  2. KMI BONEK & VIKING AREMA & THE JACK 4/\/J1/\/9
    SAMPAH UBUKOTA COOK
    BONEK & VIKING MENGERIKAN GK KYA AREMA & THE JACK

Tinggalkan Balasan ke nyopik Batalkan balasan